Saturday, October 20, 2007

Perahu Ketinting

Waktu pertama kali ditawari naik perahu ketinting, saya tidak membayangkan sebuah perahu yang kecil. Justru yang saya takutkan adalah buaya-buaya yang kemungkinan sedang lapar dan nekat 'berkenalan' dengan kami. Akhirnya pada siang hari itu kami terpaksa menaiki perahu ketinting, karena tidak ada alternatif kendaraan lain yang dapat mencapai lokasi tujuan kami. Yah, ini demi tugas dan memenuhi rasa ingin tau saya juga.

Saat pertama kali melihat perahu tersebut, pikiran saya langsung bertanya-tanya, apa iya perahu ini aman kami naiki. Lebarnya hanya 60 centimeter, kurang lebih pas untuk melipat kaki, bahkan rasanya kurang. Dengan berpakaian lengkap sesuai dengan standar keamanan perusahaan, antara lain pelampung badan dan sepatu safety, lebar perahu ini benar2 pas2an. Apalagi karena cuaca pada siang hari itu hujan cukup lebat, kami harus menggunakan jas hujan.

Kami berempat beserta dua orang pemilik perahu, total enam orang, menaiki perahu tersebut dan jumlah kami pas dengan panjang perahu ini. Sebetulnya sudah diusahakan untuk dapat memperoleh perahu yang lebih baik, tapi ternyata ukuran perahu yang tersedia di lokasi kami hanya seperti ini. Sungguh ajaib, perahu yang seperti kelebihan beban ini cukup kuat membawa kami melawan arus Sungai Asam-asam, Kalimantan Selatan. Saat itu permukaan sungai ini memang sedang naik, kurang lebih empat meter. Sepanjang sungai ini kami hampir tidak dapat melihat dinding sungai, yang kami lihat hanya pohon-pohon yang sudah terendam hingga tidak terlihat lagi batang utamanya. Kadang-kadang kami harus menunduk agar tidak terkena batang-batang pohon yang melintang.

Perjalanan ini semakin 'mengasyikkan' karena ternyata goyangan tubuh kami langsung membuat perahu ini tidak stabil. Padahal kami seringkali mengganti posisi duduk kami, maklum tidak biasa duduk meringkuk dalam waktu lama seperti ini. Untungnya sang juru kemudi pandai mengendalikan kemudi perahu, sehingga dapat mengatur keseimbangan perahu, walaupun kadang-kadang perahu juga dapat bergoyang tiba-tiba karena menabrak batang pohon yang terendam. Saat bertemu dengan perahu yang sedang 'menyeret' batang-batang pohon tebangan, perahu kami harus segera menepi, karena pasti perahu kami akan terguling jika bertabrakan atau bersenggolan.

Setelah satu jam perjalanan, kami sampai ke tujuan dan mulai melakukan pengukuran kecepatan air sungai. Ternyata melakukan pengukuran dengan current meter di atas perahu tidaklah mudah dan aman. Alat yang berat harus dipegang dua orang dan perahu yang mudah bergoyang membuat kami ekstra hati-hati. Kami tidak ingin tergelincir ke dalam sungai dan berbasah-basah, apalagi kehilangan alat yang mahal tersebut. Untungnya selama pengukuran di 6 lokasi sepanjang Sungai Asam-asam tersebut tidak terjadi apa-apa.

Dalam perjalanan pulang, kami sempat melihat buaya, mungkin masih muda karena ukurannya yang kecil. Buaya tersebut tampak menghindar saat kami melintasi wilayahnya. Tampak juga bekantan, yang sangat mudah dijumpai di Kalimantan, bergelantungan di pohon-pohon. Juga burug-burung dari jenis yang rasanya jarang saya lihat. Semakin ke hilir, semakin banyak rumah-rumah di tepi sungai hingga kami sampai di tempat penjemputan. Total perjalanan kami sekitar tiga jam dan itu bukanlah perjalanan satu-satunya dengan perahu ketinting.

Kesempatan kedua saya peroleh di Kalimantan Timur, kali ini menyusuri Sungai Santan untuk mengamati air sungai dan lokasi jeram. Kali ini menggunakan perahu ketinting yang lebih besar, syukurlah, dan dengan mesin yang lebih besar. Perjalanan kali ini lebih mengasyikkan, karena sungai sedang surut dan setiap perahu hanya diisi oleh tiga orang. Kami pun bisa tidur-tiduran di sepanjang perjalanan, karena lamanya perjalanan dan pemandangan yang lebih monoton. Di sepanjang sungai dapat dilihat lapisan-lapisan batuan dan sesekali lapisan batubara.

Tampaknya wilayah ini lebih berkembang dari pada wilayah di sekitar Sungai Asam-asam, karena kami cukup sering melihat rumah-rumah di sepanjang perjalanan. Penduduk di wilayah ini adalah pendatang dari Sulawesi, terutama Bugis, yang sudah cukup lama mendiami wilayah ini. Sebagian kecil adalah suku asli, yaitu Dayak, yang umumnya hidup berladang di wilayah hulu Sungai Santan. Saat kami tiba di lokasi jeram, kami sempat melihat sebuah keluarga suku tersebut yang hendak berangkat ke ladang mereka. Di lokasi jeram tersebut mereka mencopot mesi perahu ketinting, dan memasangnya kembali pada perahu lainnya yang berada di bagian hulu jeram. Mereka umumnya mempunyai stok perahu, namun jika tidak ada, perahu ketinting pun sepertinya tidak terlalu berat untuk dibawa dengan cara diangkat ke bagian hulu sungai demikian juga sebaliknya.

Perahu ketinting adalah perahu tradisional penduduk di pulau ini yang wilayahnya lebih mudah dijangkau dengan transportasi air, karena banyaknya sungai dan rawa-rawa. Sehingga sungguh penting kiranya dilakukan usaha untuk menjaga kondisi lingkungan di sekitar wilayah sungai agar ketersediaan air tetap baik. Sebab jika air sungai surut, maka penduduk yang menggantungkan kehidupannya pada transportasi air lah yang paling duluan merasakannya. Dan mereka umumnya adalah orang-orang yang tidak mempunyai banyak pilihan lain untuk dapat menikmati transportasi yang cepat dan murah.

salam